Semakin banyak saja jumlah warga yang bisu-tuli di Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali. Data terakhir menyebutkan, jumlah mereka mencapai 50 orang. Hingga kini, penyebab kelainan itu belum juga terjawab secara tuntas. Padahal, sejumlah peneliti asing sudah terjun ke sana.
Mencari lokasi Desa Bengkala tidaklah sulit. Sebab, desa itu berada di jalur utama Singaraja-Kintamani. Tiba di desa itu, Radar Bali (grup Radar Lampung) disambut Perbekel (Kepala Desa) Bengkala Made Astika.
Dia mengaku tak bisa memastikan kapan awal warganya mengalami kelainan bisu-tuli yang dalam bahasa setempat disebut kolok itu. ’’Kalau kapan pastinya, susah untuk dijelaskan. Sebab, sejak zaman kakek saya katanya sudah ada warga yang menderita kolok. Namun, saat itu jumlahnya belum banyak karena memang populasi warga desa ini juga belum banyak,’’ tutur Astika.
Kini warga Bengkala yang mengalami bisu-tuli itu 50 orang di antara jumlah penduduk 2.276 jiwa. Jumlah ini tergolong tinggi. Sebab, normalnya, angka kejadian bisu-tuli bawaan (kongenital) hanya terjadi pada satu di antara 10 ribu kelahiran. Fakta memprihatinkan di Desa Bengkala tersebut menjadikan desa itu sebagai kampung tertinggi jumlah warga yang mengalami kelainan bisu-tuli (kolok) di Bali.
Warga yang bisu-tuli di Desa Bengkala itu banyak tersebar di Banjar Dinas Kajanan dan Banjar Dinas Kelodan.
Soal penyebab warga yang banyak mengalami cacat bisu-tuli, Astika mengatakan tidak tahu. Bahkan, kata dia, beberapa peneliti yang datang di desanya juga belum ada yang mampu menjelaskan penyebab kelainan tersebut.
’’Ada peneliti dari Amerika Serikat datang di desa kami melakukan penelitian selama tiga bulan untuk mengetahui penyebab pasti merebaknya penyakit kolok di sini. Bahkan, mereka juga membawa peralatan canggih. Tetapi, nihil. Tidak ada yang tahu apa penyebabnya,’’ ujar dia.
Apakah penyebabnya adalah sering terjadi perkawinan sedarah di desa itu? Salah seorang tokoh masyarakat di Desa Bengkala Made Arpana menyatakan tidak tahu secara pasti. ’’Soal itu (perkawinan sedarah) juga sulit dibuktikan,’’ ujarnya.
’’Ada yang satu keluarga tidak menderita kolok, tetapi pada akhirnya melahirkan anak kolok,’’ katanya. Ada juga keluarga yang mayoritas anggotanya mengidap bisu-tuli, tetapi pada akhirnya melahirkan anak yang normal.
Para pengidap bisu-tuli di Desa Bengkala, kata Arpana, juga berbeda dengan kebanyakan pengidap kelainan itu. ’’Jika di tempat lain, orang bisu terkadang bisa mendengar meski sedikit-sedikit. Atau, tuli, tetapi bisa berbicara. Di desa ini, selain bisu, sama sekali tak bisa mendengar,’’ paparnya.
’’Pernah ada peneliti yang membawa alat untuk mengetahui seberapa besar pendengaran warga kolok ini yang masih berfungsi. Hasilnya, sampai habis kekuatan alat tersebut digunakan, ternyata penderita kolok di sini sama sekali tidak bisa mendengar,’’ tutur Arpana.
Kasus warga bisu-tuli di Bengkala itu pernah dimuat di Science, sebuah jurnal ilmiah, pada 1998. Tulisan di jurnal tersebut berdasar hasil riset di desa itu yang dipimpin Thomas B. Friedman, seorang pakar genetika dari The National Institute on Deafness and Other Communication Disorders (Institut Nasional Ketulian dan Kesulitan Komunikasi) di Bethesda, AS.
Ikut dalam tim penelitian itu Prof. I Nyoman Arhya, pakar biokimia dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali. Menurut Arhya, semula muncul dugaan bahwa kasus di Bengkala itu merupakan perwujudan dari sebuah sindrom yang disebabkan kekurangan yodium.
Tetapi, belakangan diketahui bahwa dugaan itu tak sesuai. Sindrom yang disebabkan kekurangan yodium biasa disertai gejala keterbelakangan mental. Itu sangat berbeda dengan yang dialami warga bisu-tuli di Bengkala. Mereka kebanyakan orang-orang yang cekatan dalam bekerja. Bahkan, ada beberapa yang pintar menari.
’’Jangan salah. Meski memiliki kekurangan, mereka itu ulet dalam bekerja,’’ jelas Arpana.
Orang-orang kolok di Bengkala kebanyakan rajin bekerja. Bahkan banyak di antara mereka yang bekerja di sawah, memelihara sapi, serta sejumlah pekerjaan lainnya. Tidak hanya itu. Mereka juga memiliki kelompok kerja. ’’Di samping memiliki pekerjaan sendiri, mereka mempunyai kelompok kerja yang mereka lakukan bersama. Kelompok kerja mereka ada yang mengoordinasi," sambungnya.
Beberapa kelompok kerja tersebut, antara lain, kelompok gali kubur dan kelompok tukang potong kayu.
Selain itu, ada kelompok warga bisu-tuli yang piawai menari janger. Kelompok mereka punya jadwal berlatih dan diberi nama grup tari Janger Kolok. Semua personel grup itu mengalami bisu-tuli. Yang menarik, karena semua penarinya bisu-tuli, mereka tak bisa mendengar suara musik yang ditabuh untuk mengiringi tariannya. Agar gerakannya sesuai alunan musik, mereka melihat aba-aba tangan dari penabuh gendang. Meski demikian, dengan segala keterbatasan tersebut, mereka tak bisa dianggap remeh. Hingga kini, mereka sering diundang untuk tampil di pesta hotel-hotel berbintang lima di Bali.
’’Kami saja awalnya heran. Bagaimana mereka melatih diri untuk bisa menari bersama. Itulah yang saya katakan kelebihan kolok di desa kami jika dibandingkan kolok yang ada di desa lain," papar Arpana.
Karena kelebihan itulah, warga kolok di Desa Bengkala mendapat perlakuan istimewa. Mereka diberi kebebasan untuk tidak ikut gotong royong hingga kewajiban yang berkaitan upacara adat maupun keagamaan. Walaupun diberi kebebasan, mereka enggan diam. Mereka tetap beraktivitas layaknya warga normal.
’’Mereka memang kami bebaskan dari beberapa kewajiban. Meski demikian, mereka tetap melaksanakan kewajiban tersebut. Itulah yang membuat mereka memiliki tempat tersendiri di hati kami walau dengan segala keterbatasan yang dimiliki," cerita Arpana.
Astika menambahkan, ada salah seorang warga kolok di desanya yang saat ini tinggal di Australia dan hidup enak di sana. Dia adalah Wayan Sumendra, kini berumur 60 tahun.
Ceritanya, Sumendra sekitar 1990 diboyong seorang peneliti Australia. ’’Saya lupa nama peneliti itu. Dia seorang perempuan,’’ tutur Astika.
Dia mengungkapkan, perempuan Australia tersebut cukup lama meneliti kasus kolok di Desa Bengkala. Saat balik ke negaranya, peneliti itu membawa serta Sumendra. Di sana, Sumendra dijodohkan dengan anak peneliti tersebut yang juga mengalami kelainan bisu-tuli.
’’Di sini, mungkin dia (Sumendra) yang menjadi kolok tersukses. Sebab, selain mendapat pekerjaan di sana, dia mendapat istri seorang warga Australia. Bahkan, informasi lainnya, dia sudah memiliki anak dari istri bulenya itu," ungkapnya.
Keunikan lain warga bisu-tuli di Desa Bengkala adalah cara mereka berkomunikasi. Mereka punya bahasa sendiri yang berbeda dari bahasa isyarat standar internasional.
Bahasa isyarat mereka jauh lebih sederhana. Misalnya, untuk menyebut makan, mereka cukup mengarahkan jemari tangan ke arah perut. Untuk lapar, cukup dengan memegang perut.
Untuk pendidikan, aparat desa mendirikan sekolah khusus bagi mereka sejak 19 Juli 2007. Sekolah itu bekerja sama dengan SDN 2 Bengkala. ’’Hingga kini total ada enam siswa kolok yang tersebar di kelas satu hingga lima, ’’ jelas Kepala SDN 2 Bengkala Nyoman Wijana.
Munculnya kelas inklusi yang menghadirkan siswa kolok dari desa setempat membuat sekolah itu pun mau tidak mau harus mempersiapkan guru yang memang mengerti bahasa siswa khusus tersebut. Tujuannya, transfer ilmu bisa terjadi dari guru ke murid. Guru pendamping itu sekaligus dibutuhkan untuk mengetahui persis psikologis para siswa kolok.
’’Jika tidak didampingi guru yang mengerti bahasa tubuh, mereka sulit menerima pelajaran. Apalagi kalau tidak mengetahui psikologis mereka,’’ papar Ketut Kanta, guru inklusi pertama di SDN 2 Bengkala.
Terkait proses awal siswa-siswa kolok itu bisa bergabung dengan siswa normal lainnya di kelas, termasuk hambatan yang kerap muncul, Ketut yang sempat melanglangbuana ke Belanda sebagai salah seorang tutor kolok itu menyatakan, awalnya mereka memang mendapatkan pendidikan tersendiri.
Tujuannya, mempersiapkan siswa kolok tersebut beradaptasi saat bersama siswa normal. Lama isolasi bergantung siswa kolok dalam merespons materi yang diberikan tutor. "Paling lama setahun. Setelah itu, mereka sudah bisa digabung dan masuk dalam kelas normal," bebernya.
’’Soal kendala, biasanya awalnya siswa kolok akan minder atas kondisi mereka. Namun, itu bergantung mental mereka. Itulah yang mesti kami pacu saat proses isolasi awal. Dengan demikian, saat di kelas, mereka tidak canggung," imbuhnya.
Lebih lanjut, Kanta menyatakan, sebenarnya siswa kolok dalam keseharian sering bersama siswa normal. Tapi, jika sudah di kelas, mereka terkesan canggung. Cara lain agar para siswa kolok mau bersekolah adalah memberinya uang saku Rp 6 ribu.
Sebab, jika tidak diberi uang saku, mereka tidak mau bersekolah. Mereka rata-rata datang dari keluarga tidak mampu. "Biasanya seperti itu. Kalau mereka sudah mau pulang, ya susah untuk menahan mereka. Karena itu, tiap hari kami pun memberi mereka uang saku. Apalagi, mereka berasal dari keluarga kurang mampu. Yang terpenting, mereka mau bersekolah," tegasnya.
Lalu, pelajaran apa yang sulit ditransfer pihaknya sebagai tutor" Selain PKn, bahasa Inggris dan matematika merupakan pelajaran yang sulit disampaikan. Apalagi jika sudah masuk ke level lebih tinggi. Yakni, kelas IV dan kelas V. Contohnya, menjelaskan matematika jenis kelipatan.
’’Itu yang sulit. Karena itu, bisa ke sana kemari menjelaskan supaya mereka mengerti. Apalagi, kadang-kadang mereka memiliki penafsiran kebenaran tersendiri atas apa yang mereka pikirkan," ujarnya.
wah baru tau saya
wewewewewwww lengkap sekali beritanya kang....
lo boleh ijin KOPAS ane kang....
salam sukses selalu...
bagus juga sobat...
setidaknya bisa menambah informasi buat saya ya sob...
terima kasih
wah.. terima kasih atas infonya yah.. baru tau saya.
sukses terus buat blog dan postingannya yang bermanfaat.. :)